Apa itu pendidikan berbasis kompetensi (competency-based education) dan mengapa itu dapat mengubah lanskap pendidikan?
Competency-based education atau pendidikan berbasis kompetensi adalah sebuah pendekatan pembelajaran yang menekankan pada pencapaian keahlian dan bukan pada jumlah jam belajar yang dialokasikan.
Kita tahu bahwa banyaknya jumlah jam belajar tidak berarti tingginya persentase untuk menguasai suatu keahlian, dan itu berlaku sebaliknya. Akan tetapi, banyak sekolah di luar sana mau tidak mau memaksa murid untuk masuk ke materi selanjutnya meskipun banyak dari mereka yang belum menguasai keahlian tersebut. Di sisi lain, siswa yang sudah mahir pada satu keahlian pun tidak boleh langsung belajar keahlian selanjutnya dan harus menunggu teman-temannya yang lain.
Ini mengapa pendidikan berbasis kompetensi sangat berguna dan dapat mengisi celah tersebut serta dapat diterapkan bukan hanya untuk anak-anak di bangku sekolah, tetapi juga pada para peserta pelatihan di industri vokasi dan pelatihan.
CIRI-CIRI DARI PENDIDIKAN BERBASIS KOMPETENSI
Ada banyak istilah untuk sistem pendidikan seperti ini (misalnya, mastery-based education) dan ada banyak juga lembaga pendidikan yang tanpa sadar sudah menerapkannya. Tetapi pada umumnya, pendidikan berbasis kompetensi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Pembelajaran tidak diukur berdasarkan jumlah jam yang dihabiskan, tetapi berdasarkan apakah siswa menguasai kompetensi yang direncanakan. Ada perubahan holistik yang terjadi: dari menjadikan waktu sebagai acuan menjadi pencapaian kompetensi sebagai acuan.
- Siswa mengetahui dengan jelas tentang peta kompetensi yang perlu dikuasai. Guru dan sekolah menginformasikan peta kompetensi sangat eksplisit baik di dalam dan di luar kelas. Ini akan jauh lebih baik apabila siswa juga terlibat penuh dalam pembuatan peta kompetensi tersebut (baca Negotiated Curriculum).
- Asesmen dilakukan selama pembelajaran, dan bukan terletak pada akhir periode seperti ujian. Siswa diberikan banyak kesempatan untuk menguasai suatu keahlian baik dalam bentuk uji coba, proyek, low-stake test dan selalu ada bantuan ekstra dari guru apabila siswa mengalami kegagalan dalam menguasai keahlian tersebut.
Poin paling penting dari sistem pendidikan ini adalah tentang bagaimana cara mengukur keberhasilannya. Keberhasilan dari pendekatan ini diukur dengan cara paling rasional dan mudah: apakah siswa menguasai keahlian tersebut? Kalau jawabannya iya, itu berarti siswa tersebut akan melanjutkan ke tahap berikutnya di mana ada konsep/keahlian yang lebih sulit untuk dipelajari. Kalau tidak, siswa akan diberikan bantuan tambahan sampai mereka berhasil.
Di dalam sistem pendidikan ini tidak ada batas waktu untuk siswa mempelajari satu keahlian. Siswa dapat gagal berkali-kali dan siswa akan selalu mendapatkan bimbingan dan dukungan untuk menguasai keterampilan terkait sebelum melaju ke tahap berikutnya.
Indonesia pernah menerapkan Kurikulum berbasis Kompetensi (KPK) pada tahun 2004 yang memiliki konsep hampir serupa, namun kelemahannya pada sedikitnya atau kurangnya pengetahuan baik dari guru dan siswa dalam menghadapi kegagalan. Hal ini secara relatif mungkin disebabkan oleh tingginya tekanan untuk meluluskan anak pada Ujian Nasional sehingga kegagalan dalam pembelajaran sehari-hari masih dianggap sesuatu yang tidak wajar dan memalukan.
Selain itu, penggunaan internet pada masa itu tidak seintens pada saat ini, yakni dalam hal penggunaan internet sebagai media pembelajaran. Hal ini menyebabkan kurangnya ruang belajar mandiri bagi siswa atau secara sederhana sekolah tidak dapat menerapkan konsep blended learning.
CARA MERANCANG PENDIDIKAN BERBASIS KOMPETENSI
Seperti merancang buku, film, atau game, ada tahap-tahap yang perlu dicermati dalam merancang pendidikan berbasis kompetensi. Semuanya harus saling berkaitan dan saling menunjang untuk menguasai satu keahlian yang telah direncanakan.
a. Pemetaan Kompetensi
Di dalam dunia perancangan kurikulum, ada istilah yang disebut dengan subject matter expert. Ini adalah orang yang menguasai ranah dari suatu keahlian. Contoh: guru, teknisi, pelatih dll.
Interview mereka dan ajak bertukar pikiran tentang apa yang diperlukan seseorang untuk menguasai suatu keahlian? Ini bisa terkait pada pengetahuan, keahlian, sikap, dan komponen-komponen esensial lainnya.
Berikan banyak waktu pada tahap ini untuk membuat peta kompetensi yang komprehensif. Selain komprehensif, selalu coba menyederhanakan setiap tahapan baik dengan memotong komponen menjadi bagian yang lebih kecil (micro-learning) atau mengelompokannya berdasarkan suatu kategori.
Minta pendapat kedua dari ahli lain untuk menyempurnakan peta kompetensi yang ada.
b. Kalibrasi peta kompetensi dengan tujuan akhir pembelajaran.
Refleksi dan minta pendapat beberapa pemangku kepentingan mengenai peta kompetensi yang telah dibuat. Pertanyaan utamanya adalah apakah setiap tahapan pembelajaran akan membuat siswa menjadi pribadi yang memiliki keahlian-keahlian terkait?
Kalibrasi juga dapat dilakukan setiap enam bulan atau satu tahun sekali untuk memastikan bahwa peta kompetensi relevan dengan perubahan zaman dan tujuan pembelajaran.
c. Sediakan Material Pembelajaran yang dapat Diakses secara Luring dan Daring (Blended Learning)
Selain peta kompetensi, sediakan materi pembelajaran dengan berbagai format multimedia kepada siswa. Materi ini baiknya dapat diakses secara luring dan daring.
Selain materi, perlu diberikan asesmen-asesmen sederhana supaya siswa juga dapat mengukur kemampuan mereka secara mandiri dan bertahap. Apabila dirasa perlu, guru juga dapat memeriksa secara berkala hasil dari setiap asesmen dan memberikan bantuan kepada siswa yang membutuhkan.
Dalam pengalaman saya, tempatkan materi pembelajaran pada Learning Management System (LMS) yang dimiliki atau platform lain yang familiar dikunjungi atau dipakai oleh siswa.
KESIMPULAN
Ada banyak cara untuk mentransfer pengetahuan dan keahlian kepada siswa, tetapi hanya sedikit yang benar-benar berpusat pada siswa. Siswa, guru, sekolah, dan orang tua perlu sama-sama berpikir tentang bagaimana pendidikan seharusnya berjalan dan tujuan yang perlu dicapai. Apakah pendidikan berbasis kompetensi adalah jawabannya? atau ada pendekatan-pendekatan lain yang dapat diterapkan atau dikombinasikan untuk menghasilkan hasil pembelajaran yang optimal? Apa pun keputusannya, suara siswa harus menjadi suara penentu dari setiap keputusan yang diambil.
Sumber
Burke, J. (Ed.). (2005). Competency based education and training: Routledge.
https://elearningindustry.com/designing-competency-based-learning-programs-dos-donts